Film “Hotel Rwanda”: Simplifikasi Kompleksitas Konflik Antaretnis di Rwanda

Emma Amelia
5 min readJul 28, 2020

--

Sumber: https://www.imdb.com/title/tt0395169/mediaindex

Peristiwa kejahatan genosida oleh kelompok milisi ekstremis etnis Hutu beserta afiliasinya terhadap etnis Tutsi di Rwanda pada tahun 1994 merupakan salah satu catatan hitam kasus pelanggaran hak asasi manusia dalam sejarah kontemporer Afrika. Oleh sebab adanya peristiwa itu, tercatat sedikitnya sejumlah 800.000 hingga satu juta orang Tutsi tewas dibunuh menggunakan cara-cara keji dalam rentang waktu kurang lebih tiga bulan, yakni selama bulan April hingga Juni tahun 1994 (BBC, 2011). Terbunuhnya Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana, karena pesawat yang ditumpanginya bersama dengan Presiden Burundi, Cyprien Ntaryamira, ditembak jatuh pada tanggal 6 April 1994 dianggap sebagai momentum yang menjadi pemicu kejahatan genosida yang dimulai pada keesokan harinya. Baik Habyarimana maupun Ntaryamira merupakan bagian dari etnis Hutu sehingga memunculkan praduga bahwa pelaku penembakan pesawat yang mereka tumpangi adalah milisi Tutsi yang tergabung dalam Rwandan Patriotic Front (RPF). Pendapat lain menyebutkan bahwa pelaku penembakan pesawat adalah milisi ekstremis Hutu yang tergabung dalam Interahamwe dengan maksud mengonstruksi skenario untuk menjustifikasi kejahatan genosida terhadap etnis Tutsi yang mereka rencanakan (Bonner, 1994).

Film “Hotel Rwanda” menceritakan kembali peristiwa kelam dalam sejarah kontemporer Afrika tersebut melalui sudut pandang seorang manajer hotel bernama Paul Rusesabagina. Film ini diangkat dari kisah nyata yang dialami oleh Rusesabagina selama menjalani hari-hari mencekam di Rwanda pada April 1994. Tatiana, istri Paul Rusesabagina, adalah orang Tutsi. Banyak anggota keluarga Tatiana yang menjadi korban pembantaian milisi Hutu. Singkat cerita, Rusesabagina lantas menggunakan koneksi dan kapasitasnya sebagai eksekutif hotel untuk menyelamatkan orang-orang Tutsi dan beberapa orang Hutu moderat dengan menyediakan penampungan sementara di hotel tempatnya bekerja, juga mengupayakan evakuasi ke wilayah yang diduduki oleh milisi Tutsi dengan bantuan PBB.

Bagian film yang paling menarik sekaligus mengganggu adalah detik-detik pembuka film ketika audiens diperdengarkan sebuah siaran radio propaganda dari kanal Radio Télévision Libre des Mille Collines (RTLM) dengan latar hitam polos. Belakangan, diketahui bahwa siaran radio tersebut dilakukan oleh Georges Rutaganda, seorang petinggi Interahamwe yang sempat bersinggungan dengan Rusesabagina sebagai pemasok barang-barang penunjang bisnis perhotelannya. Mengutip langsung siaran radio yang dilakukan oleh Rutaganda dalam film:

“When people ask me, good listeners, why do I hate all the Tutsi? I say, ‘read our history.’ The Tutsi were collaborators for the Belgian colonists. They stole our Hutu land, they whipped us. Now they have come back, these Tutsi rebels. They are cockroaches. They are murderers. Rwanda is our Hutu land. We are the majority. They are a minority of traitors and invaders. We will squash the infestation. We will wipe out the RPF rebels.” (George, 2004)

Kata-kata kunci seperti “history”, “collaborators for the colonists”, “stole our land”, “cockroaches”, “murderers”, “majority”, “minority”, dan “wipe out” dalam kutipan tersebut mengindikasikan adanya upaya menginternalisasikan budaya kekerasan yang mendasari rumusan Galtung mengenai fundamentalism super-syndrome guna mendorong terjadinya konflik yang dapat berujung pada kekerasan langsung skala masif berbasis sentimen etnis seperti kejahatan genosida (Galtung, 2002). Kata-kata kunci tersebut dapat mengonsolidasi etnis Hutu melalui narasi-narasi tentang kejayaan masa lampau, trauma kolektif, pengidentifikasian diri sebagai bagian dari kelompok mayoritas, penghuni asli, dan pihak benar atau baik. Di sisi lain, kata-kata kunci tersebut juga dipergunakan untuk membangun narasi peliyanan yang pada perkembangannya meningkat menjadi narasi konstruksi musuh bagi etnis Tutsi yang dianggap sebagai minoritas, perpanjangan tangan otoritas kolonial, perampas lahan, pembunuh, pihak buruk atau jahat, dan bahkan kecoa — sebuah ungkapan yang mengindikasikan adanya upaya mendehumanisasi etnis Tutsi. Narasi peliyanan dan konstruksi musuh ini lantas dijadikan justifikasi oleh kalangan ekstremis Hutu untuk memusnahkan etnis Tutsi. Sebagai konsekuensi dari keberhasilan proses menginternalisasikan budaya kekerasan melalui pembangunan narasi-narasi tersebut, sentimen negatif etnis Hutu terhadap etnis Tutsi akan semakin menguat.

Lebih lanjut, adanya gesekan antara etnis Hutu dan etnis Tutsi telah berlangsung sejak lama. Dapat dikatakan bahwa peristiwa genosida pada tahun 1994 adalah puncak dari gesekan antaretnis tersebut. Apabila dirunut ke belakang, tepatnya ke periode kolonisasi Rwanda oleh Jerman yang dimulai pada tahun 1884 yang kemudian diambil alih oleh Belgia pada tahun 1917, maka akan terlihat bahwa strategi politik pecah belah yang dilakukan Jerman dan Belgia dalam rangka menaklukan Rwanda adalah pemantik munculnya ketegangan paling awal antara etnis Hutu dan etnis Tutsi (Beauchamp, 2014). Seperti yang lumrah diketahui, praktik-praktik kolonialisme yang terjadi di Afrika dilakukan dengan biaya murah dengan melibatkan elit-elit lokal sebagai perpanjangan tangan pengkoloni di negara jajahan. Di Rwanda, etnis Tutsi yang berjumlah lebih sedikit daripada etnis Hutu adalah elit lokal yang menjadi perpanjangan tangan pengkoloni di Rwanda. Etnis Hutu yang secara jumlah merupakan mayoritas, mulai membenci etnis Tutsi yang mereka pandang sebagai simbolisme penjajahan atas etnis Hutu.

Keadaan sosial-politik di Rwanda yang terpecah belah dan sangat hierarkis selama periode kolonisasi menyebabkan pembentukan negara-bangsa di Rwanda pada dan pasca periode dekolonisasi banyak menemui kegagalan (Newbury, 1998). Alih-alih terwujud suatu integrasi nasional, yang terjadi di Rwanda justru perang saudara dan aksi saling balas dendam tak berkesudahan antara etnis Hutu dan etnis Tutsi sepanjang dekade 1960 hingga 1990. Kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara yang sedemikian rupa memungkinkan terciptanya fundamentalism super-syndrome yang sempat disinggung sebelumnya, utamanya pada pihak yang secara jumlah merupakan mayoritas, tetapi sering mengalami subordinasi dalam konteks kepemilikan pengaruh atas kekuasaan di suatu wilayah seperti etnis Hutu. Konflik berdarah, bahkan kejahatan genosida, menjadi tak terelakkan di negara yang pembentukan identitas negara-bangsanya gagal seperti Rwanda.

Kisah heroik Paul Rusesabagina yang diangkat dalam film “Hotel Rwanda” hanyalah salah satu partikular dalam perjalanan panjang pembentukan negara-bangsa di Rwanda. Memahami konflik dan kejahatan terhadap hak asasi manusia yang terjadi di Rwanda melalui sudut pandang sempit, lebih-lebih hanya dari satu perspektif seperti yang disajikan dalam film “Hotel Rwanda”, dapat memunculkan bias persepsi yang berpotensi mempengaruhi seseorang untuk mengabaikan kompleksitas fakta di lapangan. Belakangan, Rusesabagina mengeluarkan pernyataan kontroversial mengenai konfirmasi atas adanya kejahatan genosida balasan terhadap etnis Hutu oleh milisi RPF dalam sebuah interview (Snow, 2007). Temuan semacam ini menunjukkan betapa samarnya konsepsi mengenai pihak yang benar dan salah dalam kasus konflik etnis di Rwanda. Oleh karena itu, pemahaman yang sempit mengenai permasalahan yang terjadi dapat berujung pada timbulnya stigma buruk pada etnis tertentu dan, pada akhirnya, menggagalkan upaya konsolidasi perdamaian antaretnis yang sempat berkonflik di Rwanda.

Referensi

BBC. (17 May 2011). Rwanda: How the genocide happened. Retrieved 22 April 2020, from https://www.bbc.com/news/world-africa-13431486

Beauchamp, Z. (10 April 2014). What you need to know about the Rwandan genocide. Retrieved 23 April 2020, from https://www.vox.com/2014/4/10/5590646/rwandan- genocide-anniversary

Bonner, R. (12 November 2014). Unsolved Rwanda Mystery: The President’s Plane Crash. Retrieved 22 April 2020, from https://www.nytimes.com/1994/11/12/world/unsolved- rwanda-mystery-the-president-s-plane-crash.html

Galtung, J. (1996). Cultural peace: some characteristics. In UNESCO, From a culture of violence to a culture of peace (pp. 75–92). Paris: UNESCO.

Galtung, J. (2002). Rethinking conflict: the cultural approach. Strasbourg: Council of Europe.

George, T. (2004). Hotel Rwanda [Film]. United States: Lions Gate Films.

Newbury, C. (1998). Ethnicity and the Politics of History in Rwanda. Africa Today, 45(1), 7- 24. Retrieved April 23, 2020, from www.jstor.org/stable/4187200

Snow, K. (27 April 2007). The Grinding Machine: Terror and Genocide in Rwanda — Global Research. Retrieved 23 April 2020, from https://www.globalresearch.ca/the-grinding- machine-terror-and-genocide-in-rwanda/5507

United Nations. (n.d.). Outreach Programme on the Rwanda Genocide and the United Nations. Retrieved 23 April 2020, from https://www.un.org/en/preventgenocide/rwanda/historical-background.shtml

--

--

Emma Amelia

I drink more tea than water — hence the name is "addicteas".