High Tech Low Life: Teralienasi di Belantara Teknologi

Emma Amelia
5 min readJul 28, 2020

--

Sumber: https://www.cyberpunk.net/en/news/22427/concept-art

Oscar Wilde pernah menulis dalam salah satu esainya, “life imitates art far more than art imitates life”. Kutipan tersebut bermaksud untuk menunjukkan bahwa di kehidupan nyata, kerap kita jumpai kejadian-kejadian yang sebelumnya telah digambarkan dalam karya fiksi. Barangkali adanya kejadian nyata yang disebut-sebut meniru karya fiksi adalah suatu kebetulan yang disengaja, sebab karya fiksi merupakan cara manusia merefleksikan keadaan masa kini sebagai dasar untuk memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan (Pringle, 2013). Berangkat dari pemikiran itu, dapat dikatakan bahwa realitas kehidupan masa kini boleh jadi telah diprediksikan oleh karya fiksi dari masa lalu. Salah satu contoh menarik dari gagasan mengenai “life imitates art” adalah cyberpunk.

Sederhananya, cyberpunk adalah bentuk kesenian bertema fiksi ilmiah distopia yang mengambil latar waktu di masa depan. Cyberpunk berkembang pesat pada awal dekade 1980 setelah istilah “cyberpunk” dicetuskan oleh Bruce Bethke dan menjadi sebuah genre (Lavigne, 2013), kemudian disusul dengan perilisan karya-karya terkenal bergenre cyberpunk seperti novel “Neuromancer” karangan William Gibson dan film “Blade Runner” yang disutradarai oleh Ridley Scott (Csicsery-Ronay, 1988). Pada perkembangannya, cyberpunk turut menginspirasi cabang kesenian lain seperti musik, fesyen, dan video game. Teknologi canggih menjadi poin penting dalam cyberpunk, utamanya yang terkait dengan organisme sibernetika atau cyborg. Entitas yang disebut sebagai organisme sibernetika adalah manusia setengah mesin yang menjadi tokoh penting dalam cerita cyberpunk. Untuk menjadi organisme sibernetika, tubuh manusia dipasangi perangkat teknologi yang berfungsi sebagai ekstensi dari tubuh alami untuk meningkatkan kapasitasnya sebagai manusia (Carvalko, 2012). Akibatnya, kehidupan manusia menjadi mustahil untuk dilepaskan dari keberadaan perangkat-perangkat tersebut.

Cyberpunk menawarkan prediksi masa depan berupa masyarakat distopia di bawah kekuasaan korporasi yang memiliki kecenderungan totalitarian. Prediksi masa depan tersebut merupakan refleksi dari menguatnya dominasi kapitalisme dan neoliberalisme sebagai sistem perekonomian dan ideologi global seiring dengan melemahnya hegemoni Blok Timur pada dekade 1980, bertepatan dengan mulai maraknya genre cyberpunk (Walker-Emig, 2018). Kapitalisme dan neoliberalisme mengilhami penciptaan dunia cyberpunk yang digambarkan telah mampu mengembangkan teknologi canggih, tapi di sisi lain menghadapi berbagai permasalahan seperti kesenjangan sosial, eksploitasi kerja, kerusakan lingkungan, angka kriminalitas tinggi, dan berkuasanya rezim pemerintahan yang totalitarian. Kondisi semacam ini kemudian dikenal dengan slogan “high tech, low life”.

Sumber: https://www.artstation.com/artwork/EV1xd0

Cyberpunk sering dikaitkan dengan beberapa pemikiran politik, salah satunya adalah kritik marxis. Hakikat cyberpunk kental dengan unsur-unsur kapitalisme dan neoliberalisme, menjadikannya medium yang tepat untuk mengaplikasikan kritik yang diusung oleh para marxis. Pembahasan selanjutnya akan secara spesifik menyoal kaitan antara fenomena “high tech, low life” dalam cyberpunk dengan konsep mengenai alienasi atau keterasingan dalam kritik marxis.

Karl Marx menggagas empat bentuk alienasi yang dialami oleh para buruh atau — dalam konteks cyberpunk — para cyborgs yang sama-sama hidup di bawah dominasi sistem kapitalisme (Marx, 1961). Bentuk alienasi pertama dan kedua adalah keterasingan dari aktivitas bekerja dan hasil kerja. Keterasingan ini muncul karena keberadaan cyborg sebagai manusia hanya dihargai sebatas kemampuannya untuk berkontribusi pada keberlangsungan proses produksi dalam sistem kapitalisme. Salah satu karya bergenre cyberpunk yang menunjukkan secara gamblang alienasi cyborgs dari aktivitas bekerja dan hasil kerjanya adalah novel berjudul “Red Spider, White Web”. Di situ diceritakan bahwa tokoh utama yang mencari penghidupan dengan menjadi seniman tato tidak menikmati berada di tempat kerja dan bekerja, juga tidak merasa memiliki seni tato yang dikerjakannya sebab kerja tersebut dilakukannya di bawah perintah robot yang menginstruksikan seperti apa pekerjaan yang harus dia lakukan, bukan atas kehendaknya sendiri. Si tokoh utama dijanjikan waktu luang selama tiga jam per hari yang dapat dipergunakannya untuk “menikmati hidup”. Kendati demikian, tokoh utama mendapati bahwa dirinya dieksploitasi dan menyadari bahwa sekalipun dijanjikan waktu luang, dia tetap tidak dapat menikmati hidup karena penghasilan yang didapat dari pekerjaan sebagai seniman tato tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Misha, 1999).

Bentuk alienasi ketiga adalah keterasingan dari diri sendiri yang juga dimaknai sebagai keterasingan dari sisi kemanusiaan. Cyborg terasingkan dari sisi kemanusiaannya karena ketergantungan terhadap perangkat-perangkat teknologi yang melekat pada tubuhnya. Tujuan dari pemasangan perangkat teknologi tersebut adalah untuk meningkatkan kapasitas manusia sehingga dapat berkontribusi semakin besar pada proses produksi dalam sistem kapitalisme. Sebagai konsekuensi dari alienasi bentuk pertama, kedua, dan ketiga, muncullah bentuk alienasi keempat, yakni keterasingan cyborg dari sesamanya. Kapitalisme mengondisikan relasi antar cyborg menjadi sebatas relasi fungsional sebagai rekan kerja. Kemudian, perkembangan teknologi dan ketergantungan cyborg terhadap perangkat teknologi memungkinkan cyborg melakukan interaksi dengan sesamanya secara virtual. Kondisi seperti itu lantas menjadikan cyborg makhluk yang kompetitif dan individualis.

Prediksi cyberpunk mengenai masa depan “high tech, low life” beserta kondisi teralienasi dalam dunia yang dipenuhi teknologi canggih telah mewujud pada realitas kehidupan kita hari ini. Manusia agaknya telah bertransformasi menjadi cyborg berspesifikasi rendah karena ketergantungannya terhadap penggunaan teknologi; mulai dari internet, telepon pintar, hingga virtual reality. Kehidupan di bawah dominasi sistem kapitalisme membuat manusia menghabiskan semakin banyak waktu untuk bekerja. Akibatnya, waktu luang menjadi barang langka dan manusia tidak dapat menikmati hidupnya. Melihat kondisi sekarang, sangat mungkin apabila pada tahun-tahun mendatang kita akan segera mendapati realitas kehidupan yang mirip dengan prediksi yang ditawarkan oleh cyberpunk. Kita dapat katakan bahwa kemiripan antara prediksi dan kenyataan ini adalah manifestasi dari “life imitates art”.

Tulisan ini pernah dimuat dalam LiberaPop! Vol 2: Future Edition.

Referensi:

Carvalko, Joseph. 2012. The Techno-Human Shell. Mechanicsburg, PA: Sunbury Press.

Csicsery-Ronay, Istvan. “Cyberpunk and Neuromanticism.” Mississippi Review 16, no. 2/3 (1988): 266–78. Accessed April 25, 2020. www.jstor.org/stable/20134180.

Lavigne, Carlen. 2013. Cyberpunk Women, Feminism And Science Fiction: A Critical Study. Jefferson: McFarland & Company, Inc.

Marx, Karl. 1961. Economic And Philosophic Manuscripts Of 1844. Moscow: Foreign Languages Publishing House.

Misha. 1999. Red Spider White Web. La Grande: Wordcraft of Oregon.

Murphy, Graham J. 2012. Beyond Cyberpunk. New York: Routledge.

Pringle, Ramona. “Life Imitates Art: Cyborgs, Cinema, and Future Scenarios.” The Futurist 47, no. 4 (2013): 31.

Walker-Emig, Paul. October 16, 2018. “Neon And Corporate Dystopias: Why Does Cyberpunk Refuse To Move On?”. The Guardian. https://www.theguardian.com/games/2018/oct/16/neon-corporate-dystopias-why-does-cyberpunk-refuse-move-on.

--

--

Emma Amelia

I drink more tea than water — hence the name is "addicteas".