Peristiwa Partisi dan Dinamika Pembentukan Negara di Kawasan Asia Selatan

Emma Amelia
5 min readFeb 10, 2021

--

Peta Politik Anak Benua India pada Era Kolonial
Sumber: https://www.researchgate.net/figure/Map-of-the-Indian-subcontinent-showing-the-historical-extent-of-British-India-published_fig1_305458401

Partisi 1947 merupakan peristiwa penting yang menandai titik awal dari perjalanan panjang proses pembentukan negara pasca kolonial di kawasan Asia Selatan, khususnya Pakistan─yang baru terbentuk─dan India. Partisi 1947 tentu bukan peristiwa yang muncul secara tiba-tiba, bukan pula kejadian yang hanya berlangsung dalam semalam. Sejarah peristiwa Partisi dapat dirunut ke masa pendudukan Inggris di anak benua India, tepatnya pada tahun 1905 ketika otoritas British India di bawah kepemimpinan Lord Curzon membagi wilayah Bengal menjadi dua bagian berdasarkan agama yang dianut oleh orang-orang yang tinggal di masing-masing bagian wilayah tersebut (Khan, 2017; Ray, 1977). Wilayah Bengal bagian timur dikhususkan sebagai tempat bermukim bagi penduduk yang beragama Islam. Sementara itu, wilayah Bengal bagian Barat diperuntukkan sebagai tempat tinggal penduduk yang beragama Hindu. Kemudian, muncul wacana two nation theory pada tahun 1924 (Chakrabarty, 1999; Khan, 2017). Pengusung wacana ini beranggapan bahwa mustahil penduduk beragama Hindu dan penduduk beragama Islam dapat hidup dalam satu negara di kawasan yang kini membentuk negara India. Wacana ini banyak beroleh tentangan dari kalangan yang pro pada unifikasi anak benua India (Chakrabarty, 1999). Seiring dengan berjalannya waktu dan berlalunya beragam peristiwa yang mempengaruhi dinamika sosial-politik di kawasan, wacana pendirian negara baru di anak benua India yang dikhususkan bagi penduduk muslim makin menguat pada dekade 1940. Puncaknya adalah pemilihan umum 1946 yang seluruh prosesnya sangat sarat akan persaingan politik identitas yang brutal (Khan, 2017). Hasil akhir dari pemilihan umum ini menunjukkan kemenangan tipis bagi Partai Liga yang lantas diartikan sebagai konsensus pendirian negara baru bercorak Islam di wilayah Bengal, yakni Pakistan.

Sepanjang tahun 1905 hingga tahun 1947, jutaan orang dipindahkan secara paksa dari tempat tinggalnya sebagai imbas dari munculnya wacana-wacana partisi. Alih kepemilikan tanah berlangsung secara brutal serta ragam rupa aksi kekerasan turut mewarnai peristiwa pada seputaran Partisi 1947, menimbulkan trauma mendalam bagi orang-orang yang terdampak (Khan, 2017). Meskipun demikian, tidak ada opsi untuk putar balik. Pilihan yang sudah dibuat untuk melakukan partisi dan mendirikan negara Pakistan harus tetap dijalani dengan segala macam konsekuensi yang menyertainya, salah satunya konsekuensi dalam hal perkembangan proses pembentukan negara.

Esai ini akan mengulas bagaimana dampak peristiwa Partisi 1947 terhadap pilihan jalur yang ditempuh oleh India dan Pakistan dalam membentuk dan melakukan pelembagaan politik di negaranya. Selanjutnya, esai ini akan membahas pula faktor-faktor yang mendasari pengetahuan dasar tentang betapa institusi dan praktik demokrasi di India berkembang dengan jauh lebih baik daripada di Pakistan. Pembahasan mengenai dua hal ini penting guna memahami bagaimana proses pembentukan negara India dan Pakistan secara utuh dan lengkap.

Dampak Partisi 1947 pada Jalur State Formation India dan Pakistan

Pada masa-masa awal pasca Partisi 1947, Pakistan sangat bergantung pada narasi nasionalisme muslim untuk mengonsolidasi integrasi penduduk dan kekuatan otoritasnya (Christie 2010; Devji, 2013). Namun, model konsolidasi ini terbukti tidak berhasil menciptakan integrasi penduduk maupun mengukuhkan kekuatan otoritas Pakistan. Oleh sebab itu, demi menciptakan tatanan sosial-politik dalam negeri yang stabil, otoritas Pakistan beralih mengandalkan model-model militer yang sarat akan sentralisasi birokrasi dan pengerahan alat kekerasan negara (Ahmad, 1981). Model militer ini tidak lantas sukses; terbukti dengan lepasnya Pakistan Barat yang kemudian menjadi negara baru bernama Bangladesh pada tahun 1971 (Meher, 2015).

Hal berbeda dapat dijumpai pada kasus pembentukan negara dan pelembagaan politik India pada masa-masa awal pasca Partisi 1947 hingga hari ini. Diskursus politik mampu berkembang secara lebih bebas di India sehingga melahirkan ragam perspektif mengenai bagaimana mestinya nasionalisme dimaknai (Habib, 2017). Di samping itu, tatanan birokrasi India yang cukup terdesentralisasi memungkinkan terjadinya sebuah proses penyelenggaraan negara (governance) secara bottom-up, yakni leluasanya kuasa otoritas di tingkat provinsi atau negara bagian untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah secara lebih mandiri, tidak ketergantungan penuh terhadap otoritas pusat (Vu, 2010). Contoh kasus seperti negara bagian Kerala menunjukkan bagaimana ragam perspektif nasionalisme dan politik beroleh akomodasi dengan adanya penerapan birokrasi terdesentralisasi yang substantif di India.

Peristiwa Partisi 1947 berdampak lebih signifikan dalam model proses pembentukan negara dan pelembagaan politik yang diterapkan oleh Pakistan. Sementara itu, model proses pembentukan negara dan pelembagaan politik India dapat dikatakan nyaris tidak terpengaruh oleh adanya Partisi 1947, terlebih pada kawasan-kawasan yang tidak terdampak peristiwa Partisi 1947 seperti India bagian selatan.

Membandingkan Institusi dan Praktik Demokrasi di India dan Pakistan

Dari pemaparan sebelumnya, dapat diidentifikasi bahwa India memiliki institusi dan praktik demokrasi yang lebih matang apabila dibandingkan dengan Pakistan. Merujuk pada pendapat Vu, hal tersebut dikarenakan India memiliki modal yang cukup untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan adanya peninggalan-peninggalan masa kekuasaan British Raj (2010). Sistem birokrasi terdesentralisasi merupakan salah satu peninggalan yang berperan paling signifikan dalam relatif suksesnya penyelenggaraan negara secara demokratis di India. Di samping itu, peninggalan berupa kekayaan turut menunjang penyelenggaraan negara secara demokratis di India. Stabilitas finansial negara di masa-masa awal pendiriannya menghindarkan India dari praktik pembangunan ekonomi yang tersentralisasi dan otoriter. Lebih lanjut, peninggalan lain yang tak kalah penting adalah sumber daya manusia yang memiliki kecakapan untuk mengelola penyelenggaraan pemerintahan dengan memanfaatkan peninggalan sistem birokrasi terdesentralisasi dan kemampuan finansial yang ada. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari peninggalan lain di bidang pendidikan dan budaya, yakni pendirian perguruan tinggi dan penyebarluasan akses pengetahuan yang masif sejak akhir abad 19 di India, juga pengaturan kekuasaan era kolonial yang memberi ruang bagi penduduk lokal untuk terlibat sebagai pejabat-pejabat pemerintahan (Khan, 2017; Vu, 2010).

Sementara itu, Pakistan tidak memiliki peninggalan British Raj seperti halnya India. Sebagai negara yang baru berdiri, Pakistan harus memulai segalanya dari nol (Vu, 2010). Nihilnya kapasitas finansial yang ditambah dengan tidak adanya sumber daya manusia yang cukup kompeten dalam menyelenggarakan negara membuat Pakistan mengandalkan model penyelenggaraan negara berbasis birokrasi militer tersentralisasi (Ahmad, 1981; Vu 2010). Kondisi ini menghapus ruang bagi perkembangan demokrasi yang substantif di Pakistan.

Referensi

Ahmad, I. (1981). Pakistan: class and state formation. Race & Class, 22(3), 239–256. https://doi.org/10.1177/030639688102200302

Chakrabarty, B. (1999). Pathways to India’s Partition: The Foundations of Muslim Nationalism. Indian Historical Review, 26(2), 235–237. https://doi.org/10.1177/037698369902600229

Christie, K. (2010). Globalisation, Religion and State Formation in the United Arab Emirates and Pakistan. Totalitarian Movements and Political Religions, 11 (2), 203–212, DOI: 10.1080/14690764.2010.511460

Habib, I. (2017). Indian Nationalism: The Essential Writings. New Delhi: Aleph Book Company.

Khan, Y. (2017). The Great Partition: The Making of India and Pakistan. London: Yale University Press. doi:10.2307/j.ctv1bzfp93

Meher, J. (2015). Dynamics of Pakistan’s Disintegration: The Case of East Pakistan 1947–1971. India Quarterly, 71(4), 300–317. Retrieved December 28, 2020, from http://www.jstor.org/stable/45072741

Ray, A. (1977). Communal Attitudes to British Policy: The Case of the Partition of Bengal 1905. Social Scientist, 6(5), 34–46. doi:10.2307/3520087

Vu, T. (2010). Studying the State Through State Formation. World Politics, 62(1), 148–175. Retrieved December 28, 2020, from http://www.jstor.org/stable/40646194

--

--

Emma Amelia

I drink more tea than water — hence the name is "addicteas".